Daán yahya/Republika

Konteks Perang Badar

Inilah jihad pertama yang dipimpin Rasulullah SAW, terjadi pada bulan suci Ramadhan.

Oleh: Hasanul Rizqa

Ramadhan menyaksikan banyak momentum perjuangan dalam sejarah. Salah satunya adalah Ghazwah Badr, yang terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Alquran mendeskripsikannya sebagai suatu mukjizat dan pertolongan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan umat. Kala itu, Muslimin meraih kemenangan meskipun tidak unggul secara kuantitas dari musuh.

 

وَلَقَدۡ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ بِبَدۡرٍ وَّاَنۡـتُمۡ اَذِلَّةٌ  ۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُوۡنَ

 

“Dan sungguh, Allah telah menolong kamu dalam Perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukuri-Nya” (QS Ali Imran: 123).

 

Muhammad Husain Haekal dalam karyanya, Sejarah Hidup Muhammad, menuturkan konteks jalannya palagan itu. Sebelumnya, kaum Muslimin sudah terlibat dalam bentrokan-bentrokan kecil dengan musyrikin Quraisy. Waktu itu, sekitar satu tahun sesudah Rasulullah Muhammad SAW dan para pengikutnya hijrah dari Makkah ke Madinah.

 

Kepindahan dari tanah kelahiran ke suatu daerah baru bukanlah tanpa perjuangan. Sebab, hampir seluruh kalangan Muhajirin meninggalkan harta bendanya dan bahkan keluarganya di Makkah untuk bisa mengikuti Nabi SAW ke Madinah. Di antara mereka ada yang jatuh miskin, padahal dahulu hidup berkecukupan atau malahan kaya raya di kota asal. Bagaimanapun, tantangan itu mereka jalani dengan ikhlas. Sebab, hakikat hijrah ialah mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya.

 

Di Makkah, orang-orang kafir justru memanfaatkan barang-barang peninggalan Muslimin untuk diri mereka sendiri. Tak sedikit yang dijadikan sebagai komoditas dagang untuk dijual ke luar negeri. Untuk sampai ke Syam, kafilah Quraisy mesti melewati daerah sekitar Madinah (Yastrib). Begitu mengetahui harta bendanya dijamah para musuh Allah itu, kaum Muhajirin hendak merebutnya kembali. Inilah yang melatari konflik-konflik kecil sebelum Perang Badar.

 

Rasulullah SAW pun membentuk satuan-satuan regu. Salah satunya dipimpin Abdullah bin Jahsy. Ia diutus Nabi SAW untuk mengintai pergerakan rombongan Quraisy yang hendak melewati area perkebunan kurma di Nakhlah. Turut serta dalam regu Ibnu Jahsy ialah seorang pemanah ulung bernama Waqid bin Abdullah at-Tamimi. Tak diduga, rombongan Quraisy berpapasan langsung dengan kelompok Abdullah bin Jahsy. Kontak senjata pun terjadi.

 

Anak panah at-Tamimi berhasil menewaskan seorang tokoh Quraisy, Amr bin al-Hadzrami. Ini adalah darah pertama yang ditumpahkan Muslimin. Akhirnya, rombongan itu kembali ke Makkah. Mereka bertekad membalas kekalahan di Nakhlah itu. Caranya dengan menghasut seluruh suku-suku di Jazirah Arab. Nabi Muhammad SAW dan Muslimin difitnah telah melakukan pembunuhan saat bulan suci. Dalam adat Arab, ada bulan-bulan yang terlarang mengadakan peperangan, yakni Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab.

 

Para pemuka Quraisy berharap, agitasi itu berhasil mempengaruhi suku-suku Arab agar mau memusuhi Madinah. Dengan demikian, posisi Rasululllah SAW kian terkucil dan dapat dipatahkan. Sementara itu, musim gugur tiba. Abu Sufyan memulai ekspedisi dagangnya dari Makkah ke Syam. Kaum Muhajirin di Madinah menerima kabar ini. Mereka lantas hendak merebut kembali harta bendanya yang telah dirampas kaum Quraisy di Makkah.

 

Abu Sufyan dalam perjalanan pulang dari Syam. Begitu mendekati Madinah, ia merasa para pengikut Muhammad SAW akan mencegat rombongannya. Untuk mengantisipasinya, ia menyuruh Dzamdzam bin Amr al-Ghifari agar segera pergi ke Makkah terlebih dahulu. Orang itu disuruhnya agar menyerukan kaum Quraisy untuk menyelamatkan harta benda mereka. Sebab, kaum Muslimin sedang mengintainya sebelum tiba di Makkah.

 

“Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! Harta bendamu di tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Abu Sufyan butuh pertolongan!” demikian Ibnu Amr al-Ghifari memanggil para pemuka Makkah.

 

Mendengar ini, Abu Jahal segera memanggil masyarakat agar berkumpul di sekitar Ka’bah. Ternyata, khalayak setempat masih ragu-ragu, apakah akan ikut mengangkat senjata melindungi Abu Sufyan dan barang dagangannya. Banyak pula yang mengusulkan, sebaiknya mereka diam saja. Harapannya, kafilah Abu Sufyan tak diganggu sepanjang perjalanan pulang.

 

Akan tetapi, Abu Jahal sudah terburu nafsu untuk melawan Muslimin di Madinah. Dengan kefasihan retorikanya, ia menghasut penduduk Makkah agar bersedia melawan Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Orasi ini berhasil. Akhirnya, tak seorang pun lelaki dewasa tinggal di Makkah kecuali ikut menenteng senjata ke Madinah untuk memerangi Nabi SAW.

 

Pada hari kedelapan bulan Ramadan, Nabi Muhammad SAW sudah mendapatkan kabar tentang gerombolan musyrikin Quraisy yang sedang mendekati Madinah. Beliau pun berangkat meninggalkan Kota Penuh Cahaya (Madinah al-Munawarah) itu diikuti para sahabatnya. Untuk sementara, tugas memimpin shalat di masjid diserahkan kepada Amr bin Umm Maktum. Adapun pimpinan Madinah dipercayakan kepada Abu Lubaba dari Rauha’.

DOK  WIKIPEDIA

‘Kalah’ kuantitas

 

Dalam iring-iringan ini, barisan Muslimin didahului dua regu pembawa bendera hitam. Mereka membawa 70 ekor unta, yang dinaiki secara bergantian. Tiap dua atau tiga orang bergiliran menaiki seekor unta.

 

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat pun berganti-gantian menaiki unta yang tersedia. Secara keseluruhan, Muslimin yang mengikuti perjalanan ini sebanyak 350 orang. Mereka terdiri atas kaum Muhajirin (83 orang), suku Aus (61 orang), dan suku Khazraj (206 orang). Dua kabilah tersebut termasuk golongan Anshar.

 

Rasulullah SAW lantas menyadari. Sekarang, Muslimin tak lagi sekadar menghadapi rombongan Abu Sufyan yang sedang bertolak dari Syam dengan membawa harta milik Muhajirin. Sebab, orang-orang Quraisy pun telah berangkat dari Makkah untuk menghadapi mereka.

 

Nabi SAW lantas memerintahkan pasukan untuk berhenti sejenak. Setelah kemah didirikan, beliau mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy yang sedang menyusul Abu Sufyan dari Makkah. Dalam perhitungannya, saat ini bila umat Islam menyerah, mustahil kebenaran akan dapat ditegakkan. Kaum musyrikin akan bersorak-sorai dan menganggap Muslimin lari ke belakang lantaran takut.

 

Abu Bakar dan Umar bin Khattab ikut memberikan pendapat. Keduanya ingin agar orang-orang Quraisy dihadapi langsung. Para sahabat lainnya juga menyarankan hal yang sama kepada Rasulullah SAW. Lanjutkanlah upaya pertempuran dengan orang-orang Quraisy itu.

 

Setelah mendengarkan pendapat mereka, wajah Nabi Muhammad SAW tampak berseri-seri. Beliau senang melihat semangat para pengikutnya dalam menegakkan martabat Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Seolah-olah kini kehancuran mereka—orang-orang musyrikin—itu tampak di hadapanku.”

 

Muslimin pun meneruskan perjalanan. Begitu sampai di suatu tempat dekat Lembah Badar, Nabi SAW pergi sendirian dengan menunggangi untanya. Ia menemui seorang tua di sana. Kepada orang ini, beliau menanyakan perihal kaum Quraisy. Berdasarkan kesaksiannya, kafilah Quraisy diketahui berada tidak jauh dari tempat ini.

 

Kemudian, Rasulullah SAW menugaskan beberapa sahabatnya untuk mengumpulkan informasi tentang Lembah Badar. Mereka juga ditugaskan untuk mencari tahu jumlah orang Quraisy yang ikut dalam rombongan itu. Caranya dengan menghitung jumlah hewan ternak yang mereka potong tiap hari. Kesimpulannya, jumlah mereka mencapai antara 900 hingga seribu orang. Ini berarti tiga kali lebih besar daripada jumlah Muslimin yang menyertai Nabi SAW.

 

Keesokan harinya, Rasulullah SAW dan para sahabat masih menantikan bilakah kafilah Quraisy itu akan lewat. Namun, Abu Sufyan akhirnya dikabarkan telah lolos dari pengadangan sehingga dapat kembali menuju Makkah. Yang masih ada di dekat perkemahan Muslimin ialah sejumlah pasukan Quraisy yang berjaga-jaga dengan kekuatan penuh.

Ternyata, kegamangan justru terjadi pada pihak Quraisy. Mereka masih saja menimbang-nimbang, untuk apa berperang melawan Muslimin?

Kemantapan hati

 

Menyadari lolosnya Abu Sufyan, beberapa orang kehilangan semangat. Sebab, mereka awalnya mengira dapat memperoleh harta rampasan dari upaya memotong perjalanan tokoh Quraisy itu. Beberapa sahabat lantas meminta persetujuan dari Nabi SAW agar kembali saja ke Madinah. Tak perlu lagi mengangkat senjata karena toh kafilah Abu Sufyan sudah melenggang ke Makkah.

 

Ketika itulah, wahyu Allah SWT turun kepada Rasulullah SAW. Yakni, surah al-Anfal ayat tujuh.

 

Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu. Namun, Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya.”

 

Firman-Nya itu menebalkan iman kaum Muslimin. Mereka seluruhnya memantapkan hati untuk berjihad fii sabilillah. Setia mendampingi Rasulullah SAW dalam keadaan bahaya sekalipun.

 

Ternyata, kegamangan justru terjadi pada pihak Quraisy. Mereka masih saja menimbang-nimbang, untuk apa berperang melawan Muslimin? Toh perniagaan Abu Sufyan sudah lewat dengan selamat!

 

Akan tetapi, Abu Jahal terus menyulut egoisme kaumnya. Menurut dia, jika menarik diri dari tempat itu, maka pihak Quraisy akan dianggap penakut di hadapan Muslimin. Bila sudah demikian, lanjut Abu Sufyan, Muhammad SAW akan semakin merasa layak memerintah seluruh Arab.

 

Sampai di sini, kaum Quraisy terbelah pendapat. Ada yang mengikuti Abu Jahal karena merasa malu dituduh sebagai pengecut. Ada pula yang memilih tetap pulang ke Makkah, misalnya, Bani Zuhra. Dengan demikian, selebihnya bersiap tempur melawan kaum Muslimin.

 

Sementara itu, Nabi Muhammad SAW memimpin pasukannya bergerak ke dekat mata air di Lembah Badar. Dalam perjalanan ini, hujan turun sehingga lebih memudahkan kaum Muslimin.

 

Begitu tiba di mata air, Nabi Muhammad SAW berhenti. Seorang sahabat, Hubab bin Mundzir, bertanya kepada Rasulullah SAW. Apakah pemilihan lokasi itu berdasarkan wahyu Allah atau taktik perang belaka. Beliau menjelaskan, hal itu menurut pandangannya sendiri. Hubab pun memberikan saran.

 

“Bagaimana kalau kita mengambil tempat di mata air yang terdekat dengan musuh? Kita turun dari tempat itu, lalu kita gali sumur-sumur di belakangnya. Kolam-kolam kita penuhi dengan air dari oasis itu. Nantinya, ketika sedang bertempur, kita dapat mengambil air yang cukup, sedangkan musuh akan kehabisan air,” kata Hubab mengusulkan

 

Rasulullah SAW menerima usulan itu. Demikianlah kaum Muslimin terus mematangkan rencana. Sebab, mereka menyadari, secara jumlah kekuatan Quraisy jauh lebih besar. Tiga kali lipat bandingannya. Untuk itu, diperlukan strategi yang jitu dan semangat pantang menyerah.

DOK  WIKIPEDIA

Kemenangan Itu Tiba

Waktu itu menunjukkan 16 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Nabi Muhammad SAW untuk sejenak menyendiri di dalam tendanya. Hatinya sedang dilanda pilu dan kekhawatiran. Beliau pun berdoa, memohon kepada Rabbnya.

 

“Allahumma ya Allah. Kaum Quraisy kini datang dengan segala keangkuhannya, berusaha mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini binasa, tak lagi ada ibadah kepada-Mu di muka bumi,” kata Rasulullah SAW dalam munajatnya.

 

Selagi Nabi SAW masih larut dalam doanya, mantelnya terjatuh. Melihat itu, Abu Bakar ash-Shiddiq segera meletakkan kembali mantel itu ke bahu Rasulullah SAW, seraya berkata, “Ya Rasulullah, dengan doamu itu Allah akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”

 

Nabi Muhammad SAW justru semakin terbawa dalam khusyuknya doa. Beliau bersimpuh penuh kesungguhan hati kepada Allah SWT. Memohonkan isyarat dan pertolongan-Nya dalam menghadapi permusuhan kaum musyrikin.

 

Beberapa saat kemudian, turunlah wahyu Allah SWT.

 

اِذۡ تَسۡتَغِيۡثُوۡنَ رَبَّكُمۡ فَاسۡتَجَابَ لَـكُمۡ اَنِّىۡ مُمِدُّكُمۡ بِاَلۡفٍ مِّنَ الۡمَلٰۤٮِٕكَةِ مُرۡدِفِيۡنَ

 

وَمَا جَعَلَهُ اللّٰهُ اِلَّا بُشۡرٰى وَلِتَطۡمَٮِٕنَّ بِهٖ قُلُوۡبُكُمۡ‌ۚ وَمَا النَّصۡرُ اِلَّا مِنۡ عِنۡدِ اللّٰهِ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيۡزٌ حَكِيۡمٌ

 

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sungguh, Aku (Allah) akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’ Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan, kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS al-Anfal: 9-10).

 

Wajah Nabi SAW pun dipenuhi rasa gembira. “Demi Dia yang memegang hidup Muhammad!” seru beliau kepada Muslimin, “Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, kemudian ia gugur, maka Allah akan menempatkannya dalam surga!”

Di pengujung pertempuran itu, pasukan Quraisy kocar-kacir sama sekali. Yang masih bernapas, berusaha kabur.

Mendengar itu, mata seluruh pasukan Islam pun berbinar. Bertambahlah semangat dalam memperjuangkan kebenaran.

 

Pagi itu, Jumat 17 Ramadan, kedua pasukan saling bertempur dengan sengit. Saat perang berkecamuk di Lembah Badar, Allah Ta’ala menurunkan seribuan malaikat dari langit sebagai bantuan kepada umat Islam.

 

Buku Hayatu Muhammad karya Muhammad Husain Haekal memaparkan patriotisme Muslimin dalam Perang Badar. Tak ada beda antara Muhajirin dan Anshar. Semuanya menyatu dalam Islam.

 

Said bin Muadz, sang pemimpin Anshar, menegaskan komitmen kaumnya kepada Rasulullah SAW jelang pertempuran. “Saya bersumpah demi Zat yang menggenggam jiwaku di Tangan-Nya,” kata Ibnu Muadz, “jika engkau, ya Muhammad, menyeberangi lautan, kami akan mengikutimu. Jika engkau mengarungi sampai negeri yang jauh, kami akan mengikutimu. Tidak ada satu pun dari kami yang menetap. Kami selalu sabar, bersungguh-sungguh, dan jujur dalam upaya kami!”

 

Seruan ini disambut Al-Miqdad bin Amr, salah satu yang pertama memeluk Islam. “Wahai Rasulullah!” katanya, “ Kami sekali-kali tidak akan pernah mengatakan kepadamu seperti Bani Israil mengatakan kepada Nabi Musa, ‘Pergilah berperang dengan Tuhanmu, kami duduk di sini saja.’ Dengan tulus kami katakan, ‘Pergilah berperang dengan Tuhanmu, dan kami pun berperang di sisimu pula.’”

 

Begitu para sahabatnya itu selesai bicara, cerahlah wajah Rasulullah SAW. “Seolah-olah kini kehancuran mereka, para musuh Allah itu, sudah tampak jelas di hadapanku,” kata beliau.

 

Pada Jumat, 17 Ramadhan, Muslimin memulai jihad di Lembah Badar. Saat perang akan dimulai, Aswad bin ‘Abdul Asad keluar dari barisan Quraisy. Ia langsung menyerbu ke tengah pasukan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah dibuat. Belum sempat ia melakukan tindakan itu, Hamzah bin Abdul Muthalib berhasil melumpuhkannya.

 

Begitu melihat Aswad jatuh, Utba bin Rabiah tampil didampingi Syaiba dan anaknya—Walid bin Utba. Dari barisan Muslimin, tidak hanya Hamzah, melainkan juga Ali bin Abi Talib dan Ubaidah bin al-Harith maju ke depan. Paman Nabi SAW itu langsung melumpuhkan Syaiba. Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid untuk banyak bergerak. Keduanya segera membantu Ubaidah yang sedang menghadapi Utba. Melihat kekalahan Ibnu Rabiah, pihak Quraisy seketika menyerbu. Kedua pasukan saling menyerang.

DOK  WIKIPEDIA

Rasulullah SAW menyerukan, siapapun Muslim yang maju melawan musuh Allah akan mendapatkan surga. Mendengarnya, pasukan tauhid pun langsung bersemangat. Pandangan mata mereka tertuju pada pemuka-pemuka Quraisy yang tampak pongah karena merasa menang jumlah.

 

Nabi SAW mengambil segenggam pasir. “Celakalah wajah-wajah para musuh Allah itu!” kata beliau sembari melemparkan pasir itu ke arah musyrikin. Seketika, tak ada satu pun orang kafir kecuali matanya kemasukan debu.

 

“Serbu!” seru Nabi Muhammad SAW.

 

Secara serentak, kaum Muslimin pun berduyun-duyun maju. Jiwa mereka telah dipenuhi semangat membara. Mereka merindukan syahid. Dalam dadanya hanya ada rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Allah SWT pun menurunkan pasukan-Nya, yakni para malaikat. Pasukan dari langit itu menambah kekuatan Muslimin.

 

Fenomena ini disingguh dalam surah al-Anfal ayat 12. Artinya, “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak, akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukul-lah di atas leher mereka, dan pukul-lah tiap ujung jari mereka.”

 

Pasukan malaikat ikut memburu musuh-musuh Allah di Lembah Badar itu. Sejumlah sahabat Nabi SAW menuturkan kesaksiannya sesudah pertempuran itu usai. Abdullah bin Abbas menceritakan, “Tatkala seorang dari kaum Muslimin sedang semangatnya mengejar musuh di hadapannya, tiba-tiba ia mendengar suara pukulan cemeti dari langit dan teriakan, ‘Majulah, wahai Haizum!' Seketika, ia melihat ke arah orang musyrik yang tadi berada di hadapannya. Didapatinya musuh itu tersungkur dalam posisi terlentang, hidungnya telah luka-luka, dan wajahnya terbelah seperti habis terkena pukulan cemeti dan seluruhnya menghijau.”

 

Orang Anshar itu lantas bercerita kepada Rasul SAW. Beliau berkata, “Benar yang engkau katakan. Itu adalah sebagian bala bantuan dari langit ketiga.” Kesaksian lainnya disampaikan Abu Dawud al-Maziniy, “Sungguh, saat pertempuran Badar aku mengikuti seorang laki-laki dari kaum musyrikin untuk memenggalnya. Namun, tiba-tiba kepalanya sudah terlebih dahulu jatuh ke tanah sebelum pedangku menebasnya. Sadarlah aku bahwa ada orang lain yang telah membunuhnya.”

 

Kejadian ini diabadikan dalam Alquran, surah al-Anfal ayat 17. “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

DOK  WIKIPEDIA

Ya, di Lembah Badar itu Rasulullah menyaksikan, Allah telah melaksanakan janji-Nya. Allah telah memberikan kemenangan kepada pihak Muslimin. Di pengujung pertempuran itu, pasukan Quraisy kocar-kacir sama sekali. Yang masih bernapas, berusaha kabur ke arah Makkah. Beberapa di antaranya dapat ditangkap sehingga menjadi tawanan Muslimin. Sisanya tersungkur mati dalam keadaan hina.

 

Peristiwa Perang Badar inilah yang menentukan bagi kelanjutan dakwah ajaran Islam. Alquran pun telah melukiskannya sebagai suatu mukjizat. Meski tak unggul secara jumlah, kaum Muslimin berhasil meraih kemenangan atas izin Allah.

 

Setelah meraih kemenangan, Nabi Muhammad SAW kemudian mengutus Abdullah bin Rawaha dan Zaid bin Haritsah ke Madinah untuk menyampaikan kabar gembira ini kepada penduduk setempat.

 

Selanjutnya, Rasulullah SAW dan para sahabatnya bergerak menuju Madinah. Di antara mereka membawa sejumlah tawanan dan rampasan perang. Sesudah menyeberangi Shafra’, pada sebuah bukit pasir beliau berhenti.

 

Di tempat itu, harta rampasan perang yang sudah ditentukan Allah SWT bagi kaum Muslimin dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, pembagian itu telah dikurangi seperlimanya, sebagaimana ketentuan dari Allah SWT.

 

“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS al-Anfal: 41).

 

Nabi SAW membagi-bagi rampasan perang itu secara adil di kalangan Muslimin. Bagian mereka yang gugur di Badar diberikan kepada ahli warisnya. Kaum Muslimin yang bertahan di Madinah pun mendapatkan bagian. Sebab, mereka ketika pertempuran berlangsung bertugas mengurus keperluan penduduk.

top